Dalam rentang perjalanan hidupnya, Urang Gayo, demikian masyarakat Gayo menurut antropolog M. Yunus Melalatoa menyebut dirinya secara kultural, memasuki era baru setelah keluar dari era kolonialisme. Di masa awal era baru ini muncul pertanyaan mengapa Gayo mundur, sedangkan masyarakat lainnya maju? Pertanyaan semacam ini sebetulnya banyak dikutip di berbagai forum akademis maupun dibicarakan dalam forum yang lebih patriotis dalam membincangkan nasib umat Islam secara umum pasca kolonial. Selanjutnya pertanyaan tadi juga menjadi semacam �wake up call� bagi generasi muda Gayo akan ketertinggalan.
Urang Gayo mendiami kawasan tengah Aceh. Saat ini wilayah asal Gayo terbagi ke dalam 4 kabupaten; Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Luwes dan sebagian Aceh Tamiang. Dengan jumlah populasi sekitar 500 ribu jiwa, jumlah populasi ini jauh lebih kecil dibanding pendatang misalnya transmigran Jawa di Aceh yang populasinya diperkirakan lebih dari 650 ribu jiwa.
Pertanyaan diatas itu tadi membangkitkan sebuah kesadaran bahwa inilah saatnya kebangkitan Gayo. Sedikitnya, ada dua momen yang mendukungnya; Pertama, dilingkungan eksternal terjadi perubahan politik dunia seperti hancurnya komunisme sebagai sebuah blok kekuatan politik, ekonomi dan sosial. Lalu diikuti oleh kegagalan kapitalisme, yang dipersepsikan telah memberi giliran kepada Islam untuk memainkan peranannya yang lebih besar. Hal ini dipandang cocok apalagi Gayo memiliki keunggulan adat, yaitu kebudayaan Gayo tidak pernah memiliki pertentangan dengan norma Islam. Kedua, di internal Aceh terjadi momentum perubahan politik berupa berakhirnya konflik panjang Indonesia � Aceh pada 2005, dan dimulainya otonomi khusus.
Dalam realitasnya, setelah beberapa lama berjalan pertanyaan ini tak ubahnya deringan jam �weker� yang berbunyi keras, namun pemiliknya tetap terlelap dengan kenyataan-kenyataan yang menyedihkan. Banyak agenda yang dipaparkan, begitupun dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, mimpi-mimpi kebangkitan tetaplah mimpi. Gayo masih terbelenggu oleh pintu-pintu besi tinggi, terantai dan berpalang. Pintu yang dimaksud itu bernama kebodohan, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, dan korupsi. Hal ini sekaligus menandakan bahwa pembangunan Gayo selama ini masih jauh dari harapan, karena ketiadaan tindak lanjut, konsepsi dan aksi kolektif yang menganalisis kemunduran apalagi memformulasikan kebangkitan Gayo yang hendak dicapai.
Sejumlah upaya sporadis dari sebagian masyarakat Gayo untuk mengejar ketertinggalan, sebagiannya dilakukan dengan berkaca pada kebangkitan masyarakat lain, sebagai contoh sederhana dengan mempelajari bagaimana masyarakat lain melalui pengembangan pariwisata berhasil mempertahankan kebudayaannya. Disini mempertahankan kebudayaan diartikan dengan dapat meraih kemajuan.
Sebagian lainnya dengan menyalahkan atau menuding masyarakat lain sebagai penyebab kehancuran Gayo. Pasca konflik vertikal, bentuk sikap yang menyalahkan masyarakat lain itu bahkan berubah menjadi kemarahan dan kekerasan. Masing-masing pilihan upaya sporadis ini memiliki argumennya sendiri, yang kemudian dipercaya sebagai kebenaran. Namun, bila ditarik benang merah dari masing-masing cara tersebut, kita akan sampai kepada suatu kesadaran akan ketertinggalan Urang Gayo sekaligus keinginan Urang Gayo untuk bangkit.
Bilamana Urang Gayo merasa perlu memodifikasi pertanyaan yang diangkat pada awal tulisan ini, menjadi, �Mengapa Urang Gayo tak kunjung bangkit?�. Bisa jadi setiap sub-kelompok Gayo seperti; Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Luwes, Gayo Kalul dan Gayo Serbejadi, akan mempunyai jawaban sendiri-sendiri atas pertanyaan ini.
Berkaca pada penyebab mengapa umat Islam tidak segera bangkit (Sri Yunanto dalam pintu kebangkitan Islam) perlu kiranya disini dikemukakan penyebab yang sama mengapa Urang Gayo tak kunjung bangkit, yaitu: Pertama; Urang Gayo belum sepenuhnya merasa Gayo, sebagaimana di dalam peribahasa Gayo disebut �Beloh Sara Loloten, Dong Sara Tamunen� karena masing-masing kelompok, aliran (belah) merasa pendapat dan caranyalah yang paling benar. Sakarang ini, sebagian orang malah meyakini masyarakat Gayo telah lepas dari akarnya, yaitu tidak lagi menjadikan agama Islam yang akidah dan kaidahnya merupakan sumber utama pengaturan perilaku.
Kedua; Urang Gayo cenderung melihat perbedaan diantara mereka, kelemahan kelompok diantara Urang Gayo dan masyarakat lain. Dengan konsentrasi yang seperti ini, sedikit sekali ada upaya mencari persamaan dan agenda bersama yang menjadi benang merah antara kelompok-kelompok dalam masyarakat Gayo.
Ketiga; secara metodologi, semangat belajar Urang Gayo lebih tereksploitasi kepada pendekatan-pendekatan tekstual, romantisme sejarah dan mengesampingkan aspek-aspek analitis yang berpijak kepada realitas yang paling dekat dan dialami oleh masyarakat muslim sekitarnya seperti Aceh, Padang, Melayu, Batak dll. Boleh jadi masyarakat Gayo memiliki masa lalu, tapi dengan demikian pula Gayo kehilangan masa kini dan masa depan.
Keempat; Lemahnya kepemimpinan Urang Gayo. Kepemimpinan yang lemah disini artinya kepemimpinan yang gagal mendayagunakan seluruh potensi sumber daya (alam dan manusia) untuk mencapai tujuan Gayo. Pemimpin Urang Gayo yang ada sekarang hanyalah pemimpin simbolis, primordialistik yang malah mempertajam keretakan Urang Gayo karena pemimpin primordialistik cenderung memperkuat kelompok, golongan dan aliran.
Karenanya mungkin masih relevan untuk mengemukakan suatu pendapat bahwa letak persoalan Gayo ada di dalam Urang Gayo itu sendiri. Dengan lain kata, kalau Urang Gayo belum juga bangkit, maka yang perlu diperiksa lebih dahulu adalah rumah tangganya sendiri. Sangatlah penting dan berguna untuk mengetahui apakah dasar atau tujuan masyarakat Gayo telah terfomulasikan? Kalau ini sudah dilakukan, baru Gayo melihat pekarangan tetangga.
Semangat kebangkitan Urang Gayo harus diiringi dengan perubahan metodologi dalam menentukan dan mencari penyebab perubahan. Dimana kebiasaan yang mendasarkan kepada argumen tekstual harus disertai dengan analisa ril terhadap persoalan yang sedang terjadi. Termasuk dengan memodifikasi sistem pendidikan masyarakat yang bangga dengan metode yang tidak memberikan pemahaman terhadap persoalan ril.
Dalam semangat ke-jamaah-an, Urang Gayo juga perlu membuka pikirannya, jujur mengevaluasi pemimpin dan kelompoknya. Dan dalam konteks komunitas ini pula, perlu memasukkan faktor pemerintah ke dalam faktor analisis. Apa yang terlah dilakukan oleh pemerintah/negara untuk memecahkan persoalan Urang Gayo, meskipun peran dan fungsi negara sendiri menjadi perdebatan dalam kelompok masyarakat Gayo. Fokus bahasan peran negara dalam memecahkan persoalan Urang Gayo adalah pencermatan terhadap langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah, dari tingkatan pemerintah yang paling rendah (kampung/desa), sampai level tertinggi (pemerintah pusat) untuk memperbaiki nasib Urang Gayo, sebagai pekerjaan awal dari pemerintah.
Urang Gayo perlu jujur, strategis dan realistis dalam membuka gerbang besi kebodohan, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan dan korupsi yang memblokir jalan menuju kebangkitan. Dengan demikian tugas Urang Gayo adalah menuntaskan persoalan internal ini. Pandangan yang bermusuhan kepada tetangga, kelompok lain, atau masyarakat lain perlu digeser kepada pandangan yang lebih kooperatif untuk merobohkan belenggu.
Kebangkitan Gayo tidak bisa dimaknai dengan permusuhan atau karakter dominatif. Meskipun untuk membenahi segala kerusakan di Gayo mensyaratkan kepemimpinan yang berakar Gayo. Semangat kebangkitan Gayo harus difokuskan kepada upaya Urang Gayo untuk membongkar hambatan yang memblokir gerbang menuju kebangkitan. Yaitu dengan �Tingkis Ulak Ku Bide, Sesat Ulak Ku Dene�, sebagai strategi masyarakat Gayo untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat maju, yang damai dan sejahtera sepanjang masa. Lebih jauh M. Kasim AS, mantan anggota DPR RI, mempersepsikan ke-Gayo-an adalah bentuk pengakuan kecintaan pada Gayo, ditandai dengan pemakaian bahasa Gayo atau �Basa Gayo� yang digunakan secara konsisten dalam penyampaian atau mengungkapkan pikiran atau ide, maka dari Basa Gayo ini akan mengalir segala-galanya tentang Gayo. Bahasa adalah sumber timbulnya adat, seni, hukum dan identitas suatu masyarakat.
Tulisan ini hanyalah salah satu upaya kecil kearah pemahaman terhadap persoalan internal Urang Gayo, yang perlu dianalisis dan dipetakan untuk dipikirkan solusi agenda aksinya oleh berbagai pihak, masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan mimpi kebangkitan Gayo, mungkinkah? Wallahualam bissawab. (MNA)
Urang Gayo mendiami kawasan tengah Aceh. Saat ini wilayah asal Gayo terbagi ke dalam 4 kabupaten; Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Luwes dan sebagian Aceh Tamiang. Dengan jumlah populasi sekitar 500 ribu jiwa, jumlah populasi ini jauh lebih kecil dibanding pendatang misalnya transmigran Jawa di Aceh yang populasinya diperkirakan lebih dari 650 ribu jiwa.
Pertanyaan diatas itu tadi membangkitkan sebuah kesadaran bahwa inilah saatnya kebangkitan Gayo. Sedikitnya, ada dua momen yang mendukungnya; Pertama, dilingkungan eksternal terjadi perubahan politik dunia seperti hancurnya komunisme sebagai sebuah blok kekuatan politik, ekonomi dan sosial. Lalu diikuti oleh kegagalan kapitalisme, yang dipersepsikan telah memberi giliran kepada Islam untuk memainkan peranannya yang lebih besar. Hal ini dipandang cocok apalagi Gayo memiliki keunggulan adat, yaitu kebudayaan Gayo tidak pernah memiliki pertentangan dengan norma Islam. Kedua, di internal Aceh terjadi momentum perubahan politik berupa berakhirnya konflik panjang Indonesia � Aceh pada 2005, dan dimulainya otonomi khusus.
Dalam realitasnya, setelah beberapa lama berjalan pertanyaan ini tak ubahnya deringan jam �weker� yang berbunyi keras, namun pemiliknya tetap terlelap dengan kenyataan-kenyataan yang menyedihkan. Banyak agenda yang dipaparkan, begitupun dengan upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Namun, mimpi-mimpi kebangkitan tetaplah mimpi. Gayo masih terbelenggu oleh pintu-pintu besi tinggi, terantai dan berpalang. Pintu yang dimaksud itu bernama kebodohan, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan, dan korupsi. Hal ini sekaligus menandakan bahwa pembangunan Gayo selama ini masih jauh dari harapan, karena ketiadaan tindak lanjut, konsepsi dan aksi kolektif yang menganalisis kemunduran apalagi memformulasikan kebangkitan Gayo yang hendak dicapai.
Sejumlah upaya sporadis dari sebagian masyarakat Gayo untuk mengejar ketertinggalan, sebagiannya dilakukan dengan berkaca pada kebangkitan masyarakat lain, sebagai contoh sederhana dengan mempelajari bagaimana masyarakat lain melalui pengembangan pariwisata berhasil mempertahankan kebudayaannya. Disini mempertahankan kebudayaan diartikan dengan dapat meraih kemajuan.
Sebagian lainnya dengan menyalahkan atau menuding masyarakat lain sebagai penyebab kehancuran Gayo. Pasca konflik vertikal, bentuk sikap yang menyalahkan masyarakat lain itu bahkan berubah menjadi kemarahan dan kekerasan. Masing-masing pilihan upaya sporadis ini memiliki argumennya sendiri, yang kemudian dipercaya sebagai kebenaran. Namun, bila ditarik benang merah dari masing-masing cara tersebut, kita akan sampai kepada suatu kesadaran akan ketertinggalan Urang Gayo sekaligus keinginan Urang Gayo untuk bangkit.
Bilamana Urang Gayo merasa perlu memodifikasi pertanyaan yang diangkat pada awal tulisan ini, menjadi, �Mengapa Urang Gayo tak kunjung bangkit?�. Bisa jadi setiap sub-kelompok Gayo seperti; Gayo Lut, Gayo Deret, Gayo Luwes, Gayo Kalul dan Gayo Serbejadi, akan mempunyai jawaban sendiri-sendiri atas pertanyaan ini.
Berkaca pada penyebab mengapa umat Islam tidak segera bangkit (Sri Yunanto dalam pintu kebangkitan Islam) perlu kiranya disini dikemukakan penyebab yang sama mengapa Urang Gayo tak kunjung bangkit, yaitu: Pertama; Urang Gayo belum sepenuhnya merasa Gayo, sebagaimana di dalam peribahasa Gayo disebut �Beloh Sara Loloten, Dong Sara Tamunen� karena masing-masing kelompok, aliran (belah) merasa pendapat dan caranyalah yang paling benar. Sakarang ini, sebagian orang malah meyakini masyarakat Gayo telah lepas dari akarnya, yaitu tidak lagi menjadikan agama Islam yang akidah dan kaidahnya merupakan sumber utama pengaturan perilaku.
Kedua; Urang Gayo cenderung melihat perbedaan diantara mereka, kelemahan kelompok diantara Urang Gayo dan masyarakat lain. Dengan konsentrasi yang seperti ini, sedikit sekali ada upaya mencari persamaan dan agenda bersama yang menjadi benang merah antara kelompok-kelompok dalam masyarakat Gayo.
Ketiga; secara metodologi, semangat belajar Urang Gayo lebih tereksploitasi kepada pendekatan-pendekatan tekstual, romantisme sejarah dan mengesampingkan aspek-aspek analitis yang berpijak kepada realitas yang paling dekat dan dialami oleh masyarakat muslim sekitarnya seperti Aceh, Padang, Melayu, Batak dll. Boleh jadi masyarakat Gayo memiliki masa lalu, tapi dengan demikian pula Gayo kehilangan masa kini dan masa depan.
Keempat; Lemahnya kepemimpinan Urang Gayo. Kepemimpinan yang lemah disini artinya kepemimpinan yang gagal mendayagunakan seluruh potensi sumber daya (alam dan manusia) untuk mencapai tujuan Gayo. Pemimpin Urang Gayo yang ada sekarang hanyalah pemimpin simbolis, primordialistik yang malah mempertajam keretakan Urang Gayo karena pemimpin primordialistik cenderung memperkuat kelompok, golongan dan aliran.
Karenanya mungkin masih relevan untuk mengemukakan suatu pendapat bahwa letak persoalan Gayo ada di dalam Urang Gayo itu sendiri. Dengan lain kata, kalau Urang Gayo belum juga bangkit, maka yang perlu diperiksa lebih dahulu adalah rumah tangganya sendiri. Sangatlah penting dan berguna untuk mengetahui apakah dasar atau tujuan masyarakat Gayo telah terfomulasikan? Kalau ini sudah dilakukan, baru Gayo melihat pekarangan tetangga.
Semangat kebangkitan Urang Gayo harus diiringi dengan perubahan metodologi dalam menentukan dan mencari penyebab perubahan. Dimana kebiasaan yang mendasarkan kepada argumen tekstual harus disertai dengan analisa ril terhadap persoalan yang sedang terjadi. Termasuk dengan memodifikasi sistem pendidikan masyarakat yang bangga dengan metode yang tidak memberikan pemahaman terhadap persoalan ril.
Dalam semangat ke-jamaah-an, Urang Gayo juga perlu membuka pikirannya, jujur mengevaluasi pemimpin dan kelompoknya. Dan dalam konteks komunitas ini pula, perlu memasukkan faktor pemerintah ke dalam faktor analisis. Apa yang terlah dilakukan oleh pemerintah/negara untuk memecahkan persoalan Urang Gayo, meskipun peran dan fungsi negara sendiri menjadi perdebatan dalam kelompok masyarakat Gayo. Fokus bahasan peran negara dalam memecahkan persoalan Urang Gayo adalah pencermatan terhadap langkah-langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah, dari tingkatan pemerintah yang paling rendah (kampung/desa), sampai level tertinggi (pemerintah pusat) untuk memperbaiki nasib Urang Gayo, sebagai pekerjaan awal dari pemerintah.
Urang Gayo perlu jujur, strategis dan realistis dalam membuka gerbang besi kebodohan, kemiskinan, pengangguran, ketidakadilan dan korupsi yang memblokir jalan menuju kebangkitan. Dengan demikian tugas Urang Gayo adalah menuntaskan persoalan internal ini. Pandangan yang bermusuhan kepada tetangga, kelompok lain, atau masyarakat lain perlu digeser kepada pandangan yang lebih kooperatif untuk merobohkan belenggu.
Kebangkitan Gayo tidak bisa dimaknai dengan permusuhan atau karakter dominatif. Meskipun untuk membenahi segala kerusakan di Gayo mensyaratkan kepemimpinan yang berakar Gayo. Semangat kebangkitan Gayo harus difokuskan kepada upaya Urang Gayo untuk membongkar hambatan yang memblokir gerbang menuju kebangkitan. Yaitu dengan �Tingkis Ulak Ku Bide, Sesat Ulak Ku Dene�, sebagai strategi masyarakat Gayo untuk dapat tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat maju, yang damai dan sejahtera sepanjang masa. Lebih jauh M. Kasim AS, mantan anggota DPR RI, mempersepsikan ke-Gayo-an adalah bentuk pengakuan kecintaan pada Gayo, ditandai dengan pemakaian bahasa Gayo atau �Basa Gayo� yang digunakan secara konsisten dalam penyampaian atau mengungkapkan pikiran atau ide, maka dari Basa Gayo ini akan mengalir segala-galanya tentang Gayo. Bahasa adalah sumber timbulnya adat, seni, hukum dan identitas suatu masyarakat.
Tulisan ini hanyalah salah satu upaya kecil kearah pemahaman terhadap persoalan internal Urang Gayo, yang perlu dianalisis dan dipetakan untuk dipikirkan solusi agenda aksinya oleh berbagai pihak, masyarakat dan pemerintah untuk mewujudkan mimpi kebangkitan Gayo, mungkinkah? Wallahualam bissawab. (MNA)
Sumber :
Amdy Hamdani, Pemerhati budaya, sejarah berdomisili di Jakarta
Amdy Hamdani, Pemerhati budaya, sejarah berdomisili di Jakarta
http://www.theglobejournal.com/kategori/opini/kebangkitan-gayo-mungkinkah.php
18 Maret 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar