Adanya kebijakan nasional mengenai desentralisasi dan otonomi daerah yang direvisi melalui Undang-undang no. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, membuat kewenangan pemerintah daerah bertambah besar. Pada saat itu pengelolaan dan akses masyarakat terhadap sumber daya alam pada saat itu hampir tidak ada karena kebijakan pemerintah yang berpihak pada aspek ekonomi. Berangkat dari konteks tersebut, WWF-Indonesia membuka kembali program konservasinya di Aceh pada Februari 2003 hingga sekarang.
ADVOKASI KEBIJAKAN
Dalam kegiatan ini, WWF Indonesia mengaji sembilan qanun atau peraturan daerah yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, di antaranya adalah kehutanan dan konservasi. Selain itu juga sudah dimulai dua rancangan qanun, yaitu perkebunan dan penataan lahan. WWF-Indonesia juga menghasilkan modul dan material mengenai pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan pada tingkat kabupaten dan provinsi yang diperuntukkan bagi pemerintah lokal serta anggota dewan perwakilan rakyat daerah sebagai salah satu upaya peningkatan kapasitas dalam pembuatan peraturan perundangan.
PASCA TSUNAMI
Pasca bencana gempa dan tsunami, WWF-Indonesia melakukan kajian cepat sebagai langkah awal dalam mengevaluasi dan menyesuaikan programnya di Aceh agar sejalan dengan upaya rekonstruksi dan rehabilitasi berkelanjutan. Kajian ini melahirkan suatu Panduan Kebijakan Rekonstruksi Hijau (Green Reconstruction Guidelines – GRG) untuk Aceh. Tujuannya adalah untuk mengingkatkan kualitas hidup masyarakat dan individu, sekaligus meminimalkan dampak negatif dari rekonstruksi lingkungan dan memelihara keanekaragaman hayati dan produktivitas system-sistem alamiah. Panduan ini merupakan acuan bagi pengambil keputusan dalam menerapkan pembangunan berkelanjutan dan mendorong terwujudnya Aceh sebagai provinsi hijau. Panduan ini juga mengarahkan hasil akhir dari rekonstruksi yang dapat bertahan lama dan didukung oleh masyarakat.
TIMBER FOR ACEH
Timber For Aceh (TFA) merupakan salah satu bentuk implementasi GRG untuk Aceh. Kegiatan ini diadakan berdasarkan keprihatinan WWF-Indonesia terhadap kebutuhan akan pengadaan kayu legal dan lestari yang tinggi untuk rehabilitas dan rekonstruksi Aceh tanpa menimbulkan penambahan kerusakan jangka panjang terhadap hutan di Indonesia yang tereksploitasi besar-besaran, termasuk hutan di Aceh. Untuk mengatasi hal ini, salah satu alternatifnya adalah mendorong berbagai pihak untuk mendatangkan kayu dari hutan yang dikelola secara lestari dari luar negeri dalam bentuk donasi/hibah. Sampai dengan 2007, TFA mendatangkan lebih dari 46.000 m3 kayu hibah dari luar negeri yang dipakai untuk pembangunan hunian sementara di bawah program perumahan sementara dan permanen International Federation Red Cross.
MONITORING PEMBALAKAN LIAR
Untuk memantau praktek pembalakan liar, WWF Indonesia berperan aktif membentuk Advokasi Hutan Aceh bersama beberapa LSM lingkungan seperti Flora Fauna International (FFI), Conservation International (CI), Yayasan PeNA (Peduli Nanggroe Aceh), Mapayah (Masyarakat Penyayang Alam dan Lingkungan Hidup), JAKAD Leuser dan Econa. Kelompok ini melakukan advokasi untuk meminimalkan aktivitas pembalakan liar yang terjadi di kawasan lindung hutan alam Aceh yang bernilai konservasi tinggi serta koridor satwa dari pengalihan lahan. Dalam kelompok kerja ini, WWF Indonesia memfasilitasi peningkatan kapasitas bagi anggota pokja dan LSM lokal dampingan khususnya dalam hal investigasi, jurnalistik, serta fotografi.
Setelah dua tahun bekerja, pokja ini mencari bentuk lain yang dapat memberikan kesempatan lebih besar dalam memperluas jaringan dan upaya advokasi. Sejak November 2007, Pokja Advokasi Hutan Aceh berganti nama dan bentuk menjadi Forum Advokasi Hutan Aceh (FoNA)
HUMANITARIAN PARTNERSHIP
Mengingat besarnya dampak Tsunami terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan di Aceh, WWF Indonesia berkerja sama dengan American Red Cross (ARC) untuk ikut terlibat aktif dalam upaya rekontruksi dan rehabilitasi akibat Tsunami yang ramah lingkungan melalui asistensi teknis lingkungan, seperti melaksanakan Environmental Stewardship Training , Pendidikan Lingkungan dan pemberian konsultasi aspek lingkungan kepada mitra ARC. Partnership ini juga telah memberikan banyak pembelajaran bagi Program Aceh untuk memandukan kepentingan lingkungan dan masyarakat secara harmonis.
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS)
GREEN COAST
Kawasan pesisir Aceh merupakan kawasan yang mengalami dampak terparah akibat bencana gempa bumi dan tsunami. Kerusakan tidak hanya berupa kerusakan fisik dan lahirnya komunitas miskin baru, tetapi juga mengubah kondisi ekologis pada kawasan tersebut. Melalui program Green Coast, WWF Indonesia bersama Wetlands International Indonesia Programme melakukan rehabilitasi ekosistem pesisir melalui pendekatan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang tidak hanya mengembalikan kondisi ekologis ekosistem pesisir sebagai benteng alam, tetapi juga meningkatkan alternative mata pencaharian masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam pesisir.
PROGRAM BUDIDAYA UDANG BERBASIS LINGKUNGAN
Sejak 2005, WWF Indonesia mengembangkan Panduan Praktek Manajemen Lebih Baik untuk tambak udang di Aceh bersama NACA (The Network of Aquaculture Centres in Asia Pacific) , ACIAR (Australian Centre for International Agricultural Research), IFC (The International Finance Corporation) dan FAO (The Food and Agriculture Organization of the United Nation). WWF Indonesia dan NACA melakukan pendampingan langsung di Kecamatan Pidie dalam menerapkan budidaya udang berwawasan lingkungan. Hasilnya, pada tahun 2007, hasil panen menunjukkan capaian yang menggembirakan dan menurut para petambak, merupakan hasil panen terbaik selama kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Tak hanya itu, berkat komitmen para petambak untuk tidak menggunakan antibiotik serta menanam bakau di sekitar tambak, kualitas lingkungan juga meningkat ditandai dengan kondisi tanah dan kualitas air yang semakin membaik.
Sumber :
http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/wilayah_kerja_kami/aceh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar